Postingan kali ini saya akan bercerita waktu masa SMA saya, dulu pas waktu
saya tidak pernah bermimpi menjadi penulis. Sama sekali tidak. Yang ada dalam
kepala kala itu, saya hanya bermimpi gadis yang saya sukai waktu SMA itu jadi
kekasih saya. Itu saja. Entah kenapa sejak masa-masa puber saya klimaks, tangan
saya seolah bergerak sendiri menulis puisi di layar komputer, di belakang
buku-buku tulis, bahkan dibalik kertas kosong almanak. Saya tak mengerti. Semua
itu respon secara otomatis.
Jadi begini mungkin ini sudah sering saya ceritakan pada beberapa tulisan
saya waktu itu, saya kelas tiga SMA. Saya suka dengan perempuan bernama sebut
saja Ani. Perasaan suka saya sudah meledak-ledak. Kebetulan juga kala itu ayah
saya sudah membelikan seperangkat alat komputer. Di situlah segala macam
perasaan ditumpahkan. Saya sangat berterima kasih kepada ayah saya, mungkin
tanpa inisiatifnya membelikan saya komputer, tulisan-tulisan saya tak akan
sampai kepada perempuan itu.
Selama mungkin kurang lebih 30 hari saya menulis puisi. Puisi-puisi itu
saya print dan saya tulis di bawahnya "Pengagum Rahasia". Puisi-puisi
itu saya taruh di kolong meja si Ani saban pagi atau sore hari, sebelum atau
setelah mereka pulang dan kelas sepi. Setiap hari puisi-puisi itu ia baca
sembari melirik ke kiri dan ke kanan siapa manusia yang meneror dirinya itu.
Di sini, saya merasakan ada kehidupan yang asing. Hidup tak keruan. Dilanda
cinta. Dilanda asmara. Mungkin itu perasaan cinta pertama saya yang
menggebu-gebu bak dikejar bus metromini.
Tiada tupai yang tak jatuh dari pohon, suatu hari, saya tertangkap basah.
Ini gila. Saya sangat terkejut. Saya kira setelah bel pulang, si Ani dan
teman-temannya langsung pulang. Ternyata, mereka menunggu dan mengintai, siapa
dibalik topeng "Pengagum Rahasia" ini. Saat saya sedang curhat dengan
teman saya bernama Roy di kelas, tiba-tiba pintu yang tertutup itu terbuka
dengan lebar. Saya benar-benar gelagapan ketika tahu kalau si Ani dan
teman-temannya yang membuka pintu itu.
Teman saya kabur. Saya ditinggal sendiri. Makin gundah gulana hati saya.
Ibarat pisau sedang berada di leher saya. Ani mendekati mejanya. Ia melihat
kolong mejanya. "Kosong," katanya. Ya, iyalah kosong, orang saya
belum menaruh puisi di situ. Untung. Sungguh saya beruntung. Kemudian,
pertanyaan demi pertanyaan diajukan kepada saya. Bermula dari "Sedang apa
kamu di sini?" Lalu, "Jangan-jangan, kamu …".
Wah, sungguh hati saya tak karuan. Entah perasaan macam apa. Keringat
bercucuran. Mau kabur tidak bisa karena pintu ditutup. Saya di serang. Saya
diserbu. Saya tersudut duduk di belakang sendiri. Tak ada teman. Karena sudah
tertangkap basah, saya pakai jurus terakhir: NGAKU!
Di kelas itu, mau tidak mau saya harus mengungkapkan segala perasaan yang
sudah lama dipendam ini. Saya ditinggal berdua di kelas. Sungguh, ini kali
pertama saya nembak seorang perempuan. Gugup. Gemetar. Keringat banjir di
sekujur tubuh. Kata-kata yang saya ungkapkan seolah bukan dari diri saya. Saya
katakan semua apa yang saya rasakan. Dan, ujung-ujungnya ia pun menolak cinta
saya karena ia sudah punya kekasih.
Oh, langit seakan runtuh. Pikiran saya melayang entah ke mana. Begini
rasanya nembak perempuan pertama kali dan ditolak. Ia pun pergi. Saya ditinggal
sendiri. Dan, sejak itu, saya baru menyadari betapa asyiknya menulis puisi dan
betapa sakitnya mencintai tanpa dicintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar