Aku, Kamu dan Sahabtku


Waktu pertama kali ku melihatmu, tak ada sebersit rasa apapun padamu. Bahkan aku tak ingin kelasku diajar olehmu. Aku juga gak peduli teman-teman yang lain sangat antusias mendengar ceramahmu. “Pak, kalau ada diajari dosen muda kaya bapak ini, kita-kita malah semangat kuliah pak. Hahaha.” Oceh temanku yang kukira dia itu cewek yang cerewet.
Aku juga sudah bolak balik kamu tegur karena aku sering ngobrol dengan sahabatku, Tia. Yah, ngobrol apa aja yang penting aku mengacuhkanmu. Aku sangat berharap kamu itu hanya masuk malam ini aja, tidak dengan besok, besoknya, besoknya lagi, dan malam-malam berikutnya. Aku bilang malam, itu karena kuliah di tempatku ini masuk malam.
Namun ternyata aku salah, malam ini kamu juga masuk kelasku. Ah, aku sudah bosan dengannya, padahal baru bertemu dua kali. Walaupun sebenarnya aku tak tahu, kenapa aku tak suka padanya. Dan besok malamnya lagi, dia masuk kelasku karena mengajar ‘dasar psikologi.’ “Kenalan dulu ya.” Kemudian dosen itu menunjuk satu-satu sambil bertanya nama. Pada saat giliranku yang ditanya, aku hanya bilang, “kemarin kan sudah kenalan pak.” Semua temanku tertawa keras, kecuali dosen itu. Tak sedikitpun dia tersenyum. Huh, ni dosen, dingin banget sih. “Nanti kalau gak ditanya, dikira pilih kasih” Jawabnya. Aku pun bertanya lagi, “Nama panjang apa panggilan?” Teman-temanku kembali tertawa. Eeeeh, aku malah diceramahin. “Kamu itu, ditanya malah balik nanya. Dulu saya juga pernah kaya gitu, tapi setelah tau itu tidak sopan akhirnya saya tidak pernah kaya gitu lagi.” Katanya sambil cemberut. “Lina.” Jawabku singkat. Sebelum pulang, aku bertanya padanya, “Pak, emangnya bapak ngajar di kelas ini?” “iya.” Ya tuhaan, kenapa harus sama bapak ini.
Di awal-awal mengajar, aku masih tak menghiraukannya. Tapi kali ini aku hanya bisa diam. Aku dan Tia sudah berpisah kelas, jadinya gak bisa ngobrol-ngobrol lagi. Hanya saja ada beberapa mata kuliah yang sama dengan jadwal Tia, dan kalau sama biasanya kelasnya dijadikan satu.
Seperti biasa, jika ada mata kuliah bahasa inggris, seringkali dosennya tidak masuk. Dan tiba-tiba hal yang tidak aku suka terjadi. Ya, pak Afnan, dosen yang aku tak suka itu masuk. Kebetulan malam ini kelasku jadi satu dengan Tia. Tibalah “tragedi” itu terjadi. Saat Pak Afnan bilang, “coba tuliskan bahasa inggrisnya, tidak ada yang mencintai saya selain… (sambil menunjukku) what’s your name?” aku sih maklum aja, meskipun udah beberapa kali ketemu dan mata kuliah berlangsung, Pak Afnan belum ingat namaku. Karena aku terbilang cukup diam di kelas. Namun, belum sempat ku menjawab pertanyaan Pak Afnan, tiba-tiba Tia teriak sambil tertawa terbahak-bahak. “Ahhhaaaahaha.. aduh paaak pak.. tak kuase akuu. Ternyata bapak’e suka sama Lina yaa. Hahaha.” Aku hanya menoleh dengan heran ke arah Tia, sedangkan Pak Afnan hanya tersenyum, “Kamu ini kenapa?” Aku tak kalah heran, “heh, kamu ini ngawur. Masa ngomong gitu ke dosen!” Teman-teman yang lain pun ikut tertawa. Kini kelasku ramai dengan tawa. “Sudah-sudah, kita kembali lagi ke mata kuliah. Jangan ketawa terus.”
Ya, semenjak itulah, teman-temanku sering “mengoloki” aku dengan Pak Afnan. Walaupun gak semuanya. Dan semenjak itu juga, entah kenapa tiba-tiba perasaan aneh muncul di hatiku. Tiap kali Pak Afnan mengajar, aku merasa semangat. Mungkin apa yang dikatakan pepatah jawa ada benarnya juga, ‘witing tresno jalaran soko kulino.’ Awalnya cinta berawal dari kebiasaan. Mungkin karena kebiasaan sering bertemu dengannya di kampus, sering diajar, dan mungkin karena “gojlokan” dari teman-temanku, yang akhirnya itu semua telah berhasil mengalahkan rasa benci menjadi cinta.
Tia : “Eh, bapak’e itu kalo ketemu aku suka salting. Ngapain coba!? Tuh tuh, liat kan, dia ngeliatin aku terus?”
Aku : “Bapak’e? siapa? maksud kamu Pak Afnan?”
Tia : “iya lah, siapa lagi.. semenjak pertama bapak’e masuk ke kelas kita, saaampe sekarang, ngeliatin akuu terus. Tapi aku sih ogah yaa. Kamu kan tau sendiri aku punya cowok.”
Aku hanya diam mendengarkan. Panas banget dengernya, udah tau aku suka sama Pak Afnan. Masih aja ngomong gitu. Ya aku tau kalo Tia itu bisa membaca pikiran dan gelagat orang, tapi kan gak harus ngomong gitu juga ke aku.
Yang aku herankan, setiap kali pandanganku dan pandangan Pak Afnan bertemu, dia selalu melihatku dengan sinis. Seolah-olah dia sudah mengenalku lama dan membenciku. Itu yang membuatku kadang jadi ilfil, apalagi jawaban Tia setelah aku curhat ke dia tentang masalah ini. “Kok aneh ya, kalo ketemu aku, bapak’e itu suka senyum loh, malah kadang nyapa aku duluan. Hem… Sebenernya bapak’e itu gak suka sama kamu karena kamu anaknya diem.” Huh, tambah panas aja aku. Kalau sudah lagi ilfil, beda lagi kalau lagi Pak Afnan mengajar kelasku. Sering melihatku sambil tersenyum. Dan perasaan senangku muncul lagi. Entahlah, tiap hari seperti itu.
Malam itu hujan datang dengan derasnya. Segera kulaju motor dengan cepat. Setelah memarkirkan motor di bawah pohon, kulangkahkan kaki dengan cepat. “Lina!!” kutolehkan kepalaku ke belakang. Oh syukurlah, aku ada teman terlambat. “Ayo cepat Tia. Lari aja.” Sampai di ruangan kelas dengan ngos-ngosan, aku disambut Pak Afnan dengan senyuman dan bertanya, “kamana wae eta?” (Kemana aja?). aku hanya melongo sambil berfikir, dari mana Pak ini tau aku orang sunda? “eh, maap pak telat. Tadi ngeprint dulu.” Pak Afnan tak menjawab dan hanya memberiku soal dan lembar jawaban Ujian Akhir. Aku pun duduk di bangku paling depan, dekat pintu. Tiba-tiba Pak Afnan mendekatiku. Melihatku menulis. “Bisa nte?” Ku dongakkan kepalaku. “Iya Pak.” Jawabku singkat. Anehnya Pak Afnan malah mengajakku ngobrol. Tia yang duduk di sebelahku pura-pura serius mengerjakan.
Setelah selesai mengerjakan, aku dan Tia segera pulang. “Cie cieee.. habis ngobrol sama bapak’e, senengnyaa bukan main. Hahahaa.” Aku hanya tersenyum malu.
Di rumah, segera ku buka akun facebook. Ada pesan di chat, dan tak kusangka itu dari Pak Afnan. Senengnya tak terkira, kujawab obrolan dari Pak Afnan, walaupun bahasanya belepotan karena menggunakan bahasa sunda, aku masih bisa ngerti.
“Hah, yang bener? Bapak’e nge-chat kamu?” “Iya Tia.. pake bahasa sunda gitu.” Pak Afnan lewat di depanku dan Tia. Ternyata dia malah melihat Tia dan tersenyum padanya, dia tak menoleh padaku sedetikpun. Aku hanya mendengus kesal. Sering aku memergok Pak Afnan dari jarak jauh sedang memperhatikan Tia yang lagi tertawa sama teman-teman yang lain, begitu Pak Afnan melihatku, dia langsung masuk ke kelas. Sebenarnya aku begitu iri sama Tia, cerdas, aktif, ceria, berani, semangat, supel, imut dan.. banyak yang naksir. Berbeda denganku yang pendiam, pemalu, penakut, dan banyak mengeluh.
Tia seringkali sms sama pak Afnan. Sering juga Tia ‘menjodoh-jodohkanku’ dengannya, tapi setelah itu, aku yang kena getahnya. Di kampus aku didiam’in terus. Bahkan Tia pernah Tanya, tipe cewek yang disukai Pak Afnan seperti apa. Ternyata tipe yang disebutkan semua ada pada diri Tia.
Sebenarnya banyak teman-temanku yang mendukung agar aku tak menyerah untuk mendapatkan cintanya Pak Afnan. Namun aku bilang pada mereka, aku tak menyukainya. Yang tau perasaanku yang sebenarnya hanya Tia dan Dava. Dava juga dekat denganku, dan sering memberi saran. Tapi prinsipku tetap, tidak akan pernah bilang dan tak akan pernah mengharapkan Pak Afnan menjadi milikku. Sampai kapanpun, aku akan memendam perasaan ini.
cepenmu.com

Tidak ada komentar: